Kamis, 23 April 2015
Anggota DPD RI yang Peduli Pada Kaum Disabilitas
Cita-cita menjadi wakil rakyat di
Senayan sekarang bisa terbuka bagi siapa saja di Indonesia setelah pemerintahan
kita mengadopsi sistem bikameral, sistem 2 kamar,dengan keterwakilan individu yang
lepas dari wakil Partai seperti layaknya anggota DPR. Meskipun begitu sebagai
calon anggota senator ,kepopuleran tetap memegang peranan penting untuk
mendapatkan suara di Provinsi dimana dia bertarung.Tulisan ini saya dasarkan
pada pengalaman teman saya ketika mencoba peruntungannya dengan maju menjadi
calon anggota DPD mewakili Provinsi
DKItahun 2009 kemarin. Hanya saja karena tingkat
kepopuleran dan modal yang minim akhirnya temanku kalah suara.
Pertanyaan paling dasar sebelum maju haruslah didasarkan wilayah
administrasi dimana kita mencalonkan diri.Taruhlah misalnya saya maju
dari Provinsi DKI Jakartayang
terbagi menjadi 6 wilayah administratif. Dari 6 wilayah tersebut bagaimanakah
tingkat kepopuleran calon senator dimata konsituen? Apalagi Provinsi DKI Jakarta sebagai
ibukota negara,meskipun secara wilayah geografi lebih kecil dibanding provinsi
lain tetapi pertarungan politik nasional benar-benar diuji di Jakarta.Dan alat kampanye apa yang akan saya gunakan
agar saya bisa memperoleh suara yang cukup agar bisa menjadi anggota DPD RI mewakili Provinsi DKI Jakarta.
Gambar.1 Jembatan
Penyeberangan Busway di DKI Jakarta dirancang untuk kaum difabel pengguna
kursi roda.
Bila saya terpilih menjadi senator menggantikan anggota DPD RI 2019-2014,
maka saya akan menggalang dukungan dari kaum disabilitas bahwa,sudah
saatnya kaumdifabel dihargai
hak-haknya, tidak seperti gambar 1 diatas,sebuah tempat layanan umum yang seharusnya
dirancang untuk memenuhi kebutuhan kaum difabel yang
terpaksa menggunakan kursi roda,dalam kenyataannya jembatan tersebut disalahgunakan
untuk penyeberangan sepeda motor.
Sudah seharusnya DPD sebagai
lembaga tinggi negara kedepannya mau membuka pintu bagi keterwakilan dari
kaum difabel itu sendiri, seperti Parlemen di Eropayang
dengan rendah hati mau memberikan kursi parlemen bagi kaumtunarungu.Simak video berikut.
Anggota Parlemen Uni Eropa dari negara Hongaria MEP Ádám Kósa.
Anggota Parlemen Uni Eropa dari negara Hongaria MEP Ádám Kósa.
Tidak hanya demi memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen,
sudah saatnya parlemen dalam hal ini DPD RI juga
mulai mau membuka pintunya bagi suara-suara kaum disabilitas agar masalah diskriminasi terhadap orang-orangdifabel bisa dikurangi. Salah satu contoh kampanye
gerakan #pitabiru di
jejaring sosial untuk kepedulian terhadap penyandang disabilitas yang
dipelopori Angkie Yudistia.
Gambar 2.Angkie Yudistia dan Cover Bukunya "Perempuan
Tunarungu tanpa Batas" yang baru-baru ini diluncurkan di Ciputra World
Marketing Gallery, Jakarta, Selasa (20/12/2011) lalu
Gerakan Sosial #PitaBiru yang
dipelopori Angkie Yudistia bila
tanpa diwakili suaranya di DPD RI niscaya
gaungya tidak akan membesar dan menjadi kepedulian bagi semua pihak di
Indonesia, bahwa masih banyak kehidupan diskriminasi yang dialami
oleh kaum difabel di Indonesia.
Sudah saatnya parlemen Indonesia ,baik
itu DPR RI,DPD RI dan MPR RI mau
memberikan kursinya pada orang-orang difabel yang
memiliki kebutuhan khusus sehingga pembangunan di negara kita semakin peduli
terhadap penyandang disabilitas. Sehingga misi pemberdayaan teman-teman
penyandang disabilitas di Indonesia bisa
lebih bergema keseluruh wilayah Indonesia.
Dan saya lebih senang bila suatu saat, ada orang seperti Angkie Yudistia duduk
di parlemen mewakili suara, orang-orang berkebutuhan khusus di Indonesia. Andai
hal itu bisa terjadi negara kita,bukan karena lomba Blog dan Twit Andai Saya
menjadi anggota DPD RI, maka Indonesia adalah negara ASEAN pertama yang
memiliki senator dari kaum difabel.
Rabu, 22 April 2015
WowKeren.com - Eriska Rein kembali membintangi film layar lebar. Namun kali ini, artis yang memutuskan menikah muda itu mendapat peran yang lebih menantang.
Eriska akan bermain dalam film bertajuk "Sebuah Lagu untuk Tuhan". Ia akan memainkan peran remaja yang nyaris tuna rungu.
"Aku jadi Angel. Angel itu gadis 17 tahun penderita tuna rungu, tapi enggak 100 persen tuna rungu," tutur Eriska di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Jumat (20/3). "Dia hampir bisa denger 20 persen, tapi harus kenceng banget."
Untuk memerankan tokoh Angel, Eriska sebelumnya pernah berkonsultasi dengan Dewi Yull yang diketahui memiliki seorang putra tuna rungu. Namun tak cukup sampai di situ, Eriska bahkan latihan bahasa isyarat dengan beberapa penderita tuna rungu, termasuk putra Dewi Yull.
Selasa, 21 April 2015
anak kebutuhan bhusus

Keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk hidup sehat dan berprestasi. Terbukti dengan banyak penghargaan yang diraih ketiga atlet penyandang cacat ini.
Olahraga memiliki segudang manfaat bagi tubuh, seperti memperkuat jantung, otot, dan daya tahan tubuh dari berbagai penyakit. Namun, tak sedikit orang yang malas atau sulit meluangkan waktunya untuk beraktivitas fisik.
Mungkin pandangan Anda akan berubah setelah membaca kisah sukses berikut ini. Dalam keterbatasan, para atlet penyandang cacat (difabel) ini bisa dikatakan melebihi manusia dengan fisik normal pada umumnya. Stephanie Handojo, David Jacob, dan Ni Nengah Widiasih adalah beberapa contoh atlet penyandang cacat yang berprestasi.
Stephanie Handojo, Atlet Renang Tunagrahita
Stephanie merupakan anak sulung dari 3 bersaudara, pasangan Santoso Handojo dan Maria Yustina Tjandrasari. Gadis kelahiran Surabaya, 5 November 1991 ini terlahir dengandown syndrome, yaitu kelainan genetik yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental.
Sejak berumur 2 tahun, Stephanie dikenalkan olahraga renang oleh kedua orang tuanya. Ini karena berenang sangat bagus untuk merangsang saraf motorik anak tunagrahita. Selain renang, ia juga menggemari olahraga bulutangkis.
Ternyata kegemaran Stephanie berolahraga tidak hanya berdampak pada kesehatan tubuhnya, tetapi ia berhasil menorehkan berbagai prestasi di bidang olahraga khususnya renang. Karirnya di olahraga dimulai sejak tahun 2005 ia berhasil menjuarai renang 50 meter gaya dada putri di PORCADA (Pekan Olahraga Cacat Daerah).
Tahun 2009, Stephanie kembali menyabet 2 emas di Singapore International Swimming Championship untuk nomor 50 meter gaya bebas dan 100 meter gaya dada. Puncak karir gadis yang mengalami kesulitan berbicara hingga usia 4 tahun tersebut adalah ia berhasil menyabet emas di Special Olympic Games 2011 di Athena.
Berkat bakat dan prestasinya Stephanie boleh bangga, dari 12 juta anak di dunia ia terpilih untuk membawakan obor Olimpiade London 2012 di kota Nottingham dengan menempuh jarak sejauh 300 meter. Tentunya kesempatan tersebut tidak ia sia-siakan begitu saja.
Stephanie merupakan inspirasi bagi siapa pun. Ia membuktikan bahwa mengalami keterbatasan bukan berarti tidak berprestasi. Ia pun berharap bahwa yang dilakukannya bisa menjadi motivasi bagi teman-teman yang senasib dengannya.
David Jacobs, Tuna Daksa yang Berprestasi
Atlet tenis meja difabel kelahiran Makassar yang bernama lengkap Dian David Michael Yakob ini lebih dikenal sebagai David Jacobs. Segudang prestasi di tenis meja sudah berhasil diraihnya di kelas internasional. Meskipun perjuangan pria kelahiran 21 Juni 1977 tak mudah.
Uniknya, David memulai karirnya di bidang tenis meja sebagai atlet normal, meski terterlahir dengan tangan kanan cacat. Berkat dukungan keluarga, ia tak patah semangat dan mulai menekuni tenis meja sebagai pemain kidal sejak usia 10 tahun bersama ketiga kakaknya yang juga gemar bermain tenis meja.
Dukungan keluarga dibuktikan dengan memasukkan David ke klub PTP Semarang selama dua tahun. Di Sekolah Dasar (SD), ia berhasil mengukir prestasi dengan menyabet juara pertama pertandingan tenis meja tingkat SD se-Jawa Tengah.
Menginjak SMP, ia dan keluarga hijrah ke Jakarta. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh David untuk menempa bakatnya. Meskipun bersaing dengan orang-orang normal dan sempat minder, David membuktikan bahwa ia mampu bermain dengan baik.
Perjalanan karier David di tenis meja kian menonjol sejak ia masuk Timnas Indonesia. Ia dikirim ke Sea Games Kuala Lumpur 2001, Sea Games Vietnam 2003, Sea Games Manila 2005, Sea Games Thailand 2007, dan Sea Games Laos 2009. Medali emas pun berhasil disabetnya di Kejuaraan Tenis Meja Asia Tenggara (SEATA) 2009 di Jakarta.
Di usia lebih dari 30 tahun, David yang keluar dari Timnas Indonesia memutuskan untuk pindah ke jalur olahraga khusus penyandang cacat, Paralympic Games. Debutnya sebagai atlet difabel dimulai dengan meraih medali perunggu di Guangzhou ASIAN Paragames 2010 dan berhasil meraih tujuh medali emas pada ASEAN Paragames 2011 di Solo.
Keberhasilan David di Slowakia membuatnya berada di peringkat tiga besar dunia. Di Paralympic Games 2012, London ia pun berhasil mempersembahkan mendali perunggu untuk Indonesia.
Ni Nengah Widiasih, Ukir Prestasi di Angkat Berat
Mengalami kelumpuhan karena penyakit polio pada usia 4 tahun tidak membuat Ni Nengah Widiasih berkecil hati. Sejak kecil, wanita kelahiran Karangasem, Bali yang akrab disapa Widi ini memang sangat menyukai olahraga.
Baginya, olahraga merupakan bagian yang paling mendasar dalam hidup untuk menjaga kesehatan dan meraih prestasi. Mengikuti jejak sang kakak yang menggemari angkat berat, ia pun mulai melakoni angkat berat sejak usia 13 tahun.
Kerja kerasnya menuai hasil saat ia berhasil menyabet emas dan memecahkan rekor nasional di Porcanas 2008 Samarinda. Sepak terjangnya sebagai atlet difabel dibuktikan dengan meraih mendali perunggu di Nakhon Ratchasima ASEAN Paragames 2008, mendali perak di Kuala Lumpur ASEAN Paragames 2009, dan mendali emas di Solo ASEAN Paragames 2011.
Tampil di Paralympic London 2012 merupakan hal yang berarti bagi Widi. Selain sebagai satu-satunya atlet putri Indonesia yang dikirim, tampil di ajang Paralympic juga merupakan impiannya sejak kecil. Meski ia belum dapat menyumbangkan mendali. Sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, semangat dan prestasi Widi patut dihargai.
Dengan segala keterbatasan, para penyandang cacat ini tetap semangat dan mengukir prestasi di bidang olahraga. Bagaimana dengan Anda?
Langganan:
Postingan (Atom)